Penulis : pengkajian puisi 2
judul artikel : pengkajian puisi 2
pengkajian puisi 2
PENGKAJIAN PUISI
Puisi dapat dikaji berdasarkan struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-saran kepuitisan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagaikarya seni yang selalu terjadi keregangan antara kenvensi dan pembaharuan (inovasi) (teeuw, 1980:20). Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya. (Riffaterre, 1978:1).
Ø Puisi dan Pengertiannya
Secara inuitif orang dapat mengerti apakah puisi berdasarkan konvensi wujud puisi, namun sepanjang sejarahnya wujud puisi selalu berubah seperti dikemukakan Riffaterre di atas.
Menurut wirjosoedarmono puisi itu diartikan sebagai karangan terikat karena:
- Banyak baris dalam tiap bait (kuplet/strofa, suku karangan)
- Banyak kata dalam piap baris
- banyak suku kata dalam tiap baris
- Rima
- Irama
Menurut Altenbernd (1970:2), Puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum) (as the interpretive dramatization of experience in metrical language).
Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.
Carlyle berkata, puisi merupakan pemikiran yang bersifat musical.
Worsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajenatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan.
Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur baur, sedangkan Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistikdalam bahasa internasional serta berirama.
Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita.
Dari definisi-definisi diatas terlihat adanya perbedaan pikiran mengenai puisi, namun seperti dikemukakan Shahnon Ahmad (197:3-4) bahwa bila unsur-unsur itu dipadukan maka akan didapat garis-garis besar tentang pengertian puisi sebenarnya. Unsur tersebut berupa: Emosi, Imajenasi, Pemikiran, Ide, Nada, irama, Kesan pancaindera, Susunan Kata, Kata-kata kiasan, Kepadatan, dan Perasaan yang bercampur-campur. Disitu dapat disimpulkan terdapat tiga unsure yang pokok. Pertama hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi; kedua, bentuknya dan yang ketiga ialah kesannya.
Dalam poetika (ilmu Sastra), sesungguhnya hanya ada satu istilah yaitu puisi. Istilah itu mencakup semua karya Sastra, baik prosa maupun puisi. Hal ini disebabkan bahwa sesungguhnya pebedaan prosa dan puisi itu sifatnya hanya berderajat (gradual) saja kadar kepadatannya. Berdasarkan hal itu, bila padat karya itu disebut puisi, bila tidak padat disebut prosa. Berdasarkan kepada kepadatannya itu, seringkali ada prosa yang dikatakan puitis, yaitu mempunyai sifat puisi: padat, sebaliknya puisi yang tidak dapat disebut prosais (mempunyai sifat prosa).
Sesungguhnya perbedaan prosa dan puisi itu bukan bahannya, melainkan perbedaan aktivitas kejiwaan. Puisi itu hasil aktivitas memadatkan. Puisi adalah ekspresi kreatif (yang mencipta), sedang prosa itu ekspresi konstruktif.
Dalam puisi kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan, kata-kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk) pada waktu pengucapannya sendiri. Dan prosa itu pada umumnya bersifat bercerita (epis atau naratif).
Karya Seni Puisi
Dalam karya Sastra sesuatu itu disebut puitis bila hal itu membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan keharuan disebut puitis. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait; dengan bunyi: persajakan, asonansi,aliterasi, kiasan bunyi, lambing rasa, dan orkstrasi; dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Antara unsur pernyataan (ekspresi), sarana kepuitisan, yang satu dengan yang lainnya saling membantu, saling memperkuat dengan kesejajarannya ataupun pertentangannya, semuanya itu untuk mendapatkan kepuitisan seefektif mungkin, seintensif mungkin.
PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA
Analisis Strata Norma Roman Ingarden
Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu analisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Analisis yang bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (wllek dan Warren, 1968:140)
Untuk menganalisis puisi setepat tepatnya perlulah diketahui apakah sesungguhnya (wujud) puisi itu. Karya Sastra tak hanya merupakan satu system norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma masing-masing norma menimbulkan lapis norma dibawahnya. Rene Wellek (1968:151) mengemukakan analisis roman Ingarden, seorang filusuf Polandia, didalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) ia menganalisis norma-norma itu sebagai berikut.
Lapis Norma Pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi, suara itu bukan hanya suara tak berarti. Suara sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya lapis kedua, yaitu lapis Arti.
Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan.
Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi yang sesungguhnya menurut Wellek dapat dimasukkan dalam lapis yang ketiga. Lapis tersebut sebagai berikut:
Pertama lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung dalamnya (impliedi). Sebuah peristiwa dalam Sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “ terdengan” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek “lusr” atau “dalam” watak. Misalnya pintu berbunyi halus dapat memberi sugesti wanita atau warak dalam si pembuka itu hati-hati.
Kedua adalah lapis Metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublime, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci) dengan sifat ini seni dapat memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi tidak setiap karya Sastra dalamnya terdapat lapis metafisis seperti itu.
BUNYI
Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-ansir musik, misalnya: lagu, melodi,irama dan sebagainya. Bunyi disamping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
Menurut teori simbolisme (Slametmuljana, 1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan mencoptakan tanggapan diluar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja. Apa pun yang dapat ditangkap panca indra ini hanyalah lambing atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indra. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya.
PUSAT
Serasa apa hidup yang rebaring mati
Memandang musim yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara.
Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan padang senja
Hidupku dalam tiupan usia.
Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan jari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bias menari
Kata-kata yang pejuang tak mau mati.
Kita dapat menangkap kenyataan hidup sebenarnya kecuali hanya sugesti-sugesti tentang kehidupan yang menyedihkan, penuh kesukaran dan keburukan, tanpa perubahan: hidup yang terbaring mati-musim yang mengandung luka.
Dalam puisi bunyi dipergunakan sebagai orkestrasi, ialah untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vocal disusun begitu rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama seperti bunyi musik
Didalam puisi bunyi kata itu disamping tugasnya yang pertama sebagai symbol arti dan juga untuk orkestrasi, digunakan juga sebagai:
- peniru bunyi atau onomatope
- lambing suara
- kiasan suara (slametmuljana 1956:610)
Peniru bunyi dalam puisi kebanyakan hanya memberikan saran tentang suara sebenarnya. Onomatope menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak menunjukan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk.
Bila pemakaian bunyi tidak disesuaikan atau dihubungkan dengan peniru bunyi, kiasan bunyi, dan lambing rasa, hanya sebagai hiasan dan permainan bunyi saja, tidak untuk mengintensifkan arti, maka tidak mempunyai atau kurang mempunyai daya ekspresi. Bahkan yang seperti itu akan mengurangi ata menghilangkan kepuitisannya.
Unsur kepuitisan bunyi yang lain ialah sajak. Apakah sebenarnya sajak? Menurut Slametmuljana (1956:75) sajakialah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran. Sajak disebut pola estetika karena timbulnya dalam puisi ada hubungannya dengan soal keindahan. Sajak bukan semata-mata untuk hiasan saja, melainkan untuk mempertinggi mutu bila mempunyai daya evokasi, yaitu daya kuatuntuk menimbulkan pengertian.
Ada bermacam-macam sajak (rima) yang banyak dipergunakan sebagai unsure kepuitisan dalam puisi Indonesia adalah sajak akhir, sajak dala, sajak tengah, aliterasi, dan asonansi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasa, selain untuk orkestrasi dan memperlancar ucapan. Yang banyak mempergunakan diantara penyair Indonesia ialah Amir Hamzah.
Jadi, dimanapun letaknya, sajak akan memberikan dan memperkuat kepuitisan bila mengandung hakikat ekspresi dan daya evokasi.
IRAMA
Hal yang masih erat berhubungan dengan pembicaraan bunyi adalah irama. Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gericik air yang mengalir tak putus-putus. Gerak yang teratur itulah yang disebut irama. Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa secara teratur.
Sesungguhnnya irama itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme, Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang sudah tetap dan tekanannya yang tetap hingga alun suara yang menaik dan menurun itu tetap saja. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Oleh para penyair yang lebih diperhatikan secara atau tidak adalah ritmenya. Ritme ini disadari oleh penyair, misalnya dengan mempertentangkan bunyi, membuat perulangan, juga untuk membuat irama itu penyair menyingkat kata (Rustam Efendi, dari - dir, hendak – nak), (manusia – nusia), memilih kata yang cocok bunyinya: pitunang poyang, habis kikis, atau selara dengan kata yang dikombinasikan itu.
Dengan adanya irama itu, selain puisi terdengar merdu, mudah dibaca, juga hal ini menyebabkan aliran perasaan ataupun pikiran tak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan yang jelas dan hidup. Melodi adalah paduan deret suara yang teratur dan berirama (Kusbini, 1953:62). Melodi itu timbul karena pergantian nada kata-katanya, tinggi rendah bunyi yang berturut-turut. Dalam berdeklamasi perlu diperhatikan diksi yaitu cara mengucapkan sajak atau teknik pengucapannya supaya dapat mengucapkan setepat-tepatnya.
Deklammator juga perlu memperhatikan timbre warna bunyi suaranya, yaitu corak bunyi, keadaan pembawaan atau sifat-sifat suara deklamator/tris tertentu, atau bunyi alat musik tertentu, yang satu dengan yang lain sangat berbeda.
KATA
Satuan arti yang menentukan struktur formal lingistik karya Sastra adalah kata. Dalil seni Sastra J. Elema menyatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijilmakan ke dalam kata (Selametmuljana, 1956:25).
Kata-kata yang telah dipergunakan oleh penyair, oleh Selametmulyana disebut kata berjiwa (1956:4), yang tidak sama artinya dengan kata yang ada dalam kamus, yang masih menunggu pengolahan. Pengetahuan tentang kata yang berjiwa disebut stilistika. Sedangkan pengetahuan tentang kata-kata sebagai kesatuan yang satu lepas dari yang lain disebut leksikografi.
1. kosakata
Alat untuk menyampaikan perasaan dan pikiran sastrawan adalah bahasa. Baik tidaknya tergantung pada kecakapan sastrawan dalam mempergunakan kata-kata. Dan segala kemuingkinan di luar kata tak dapat dipergunkan (Slametmuljana, 1956:7), misalnya mimic, gerak, dan sebagiainya.
2. Pemilihan kata.
Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Barfield mengemukakan bahwa bila kata-kata dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya menimbulkan atau dimaksudkan untuk menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi puitis.
3. Denitasi dan konotasi
Sebuah kata itu memiliki dua aspek arti, yaitu denotasi, ialah arti yang menunjuk, dan konotasi , yaitu arti tambahannya. Denotasi sebuah kata adalah definisi kamusnya, yaitu pengertian yang menunjuk benda atau hal yang diberi nama dengan kata itu, disebutakan atau diceritakan (Alternbernd, 1970:9). Bahasa yang denotative adalah bahasa yang menuju kepada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek, 1968:22). Jadi, satu kata itu menunjuk satu hal saja. Yang seperti ini adalah ideal bahasa ilmiah. Dalam membaca sajak orang harus mampu mengerti kamusnya, arti denotative, orang harus menerti apa yang ditunjuk oleh tiap-tiap kata yang dipergunakn.
Kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari seting yang dilukiskan itu disebut konotasi. Konotasi menambah denotasi dengan menunjukan sikap-ssikap dan nilai-nilai, dengan memberi daging (menyempurnakan) tulang-tulang arti yang telanjang dengan perasaan atau akal, begitu dikemukakan oleh Altenbernd (1970:10). Jadi kesimpulannya dalam membaca sajak, selain harus dimengerti arti kamusnya atau arti denotatifnya, juga harus diperhatikan konotasi, atau arti konotatifnya yang timbul dari asosiasi-asosiasi arti denotatifnya.
4. Bahasa Kiasan
Adanya bahasa kiasan ini menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengkiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jela, lebih menarik, dan hidup. Bahsa kias ada beberapa macam, diantaranya adalah:
- perbandingan
perbandingan antau perumpamaan atau simile, adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu sama lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti : bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seuympama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata yang lain.
- metafora
metafora ini bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata perbandingan, seperti gaia, laksana, seperti dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain (Becker, 1978:317). Metaphor terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term). Term pokok disebut tenor, term kedua disebut vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang untuk membandingkan.
- perumpamaan epos
perumpamaan atau perbandingan epos (epic simile) adalah perbandingan yang dilanjutakan, atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya lebih lanjut dalam kalimat-kalimat atau frasa-frasa yang berturut-turut. Kadang-kadang lanjutan ini sangat panjang. Perbandingan epos ini ada bermacam-macan atau variasi juga.
- allegori
adalah cerita kisan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadia lain. Alllegori ini banyak terdapat dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Namun pada waktu sekarang banyak juga terdapat dalam sajak-sajak Indonesia modern yang kemudian.
- personifikasi
kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, dan sebaginya seperti manusia. Personifikasi ini banyak dipergunakan para penyair dari dahulu hingga sekarang. Personifikasi ini membuat hidup lukisan, disamping itu memberi kejelasan beberan, memberikan bayangan angan yang konkret.
- metonimia
metonimi ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut.
- sinekdoki (synecdoche)
adalah bahasa kiasan yang menyebutkan satu bagian yang terpenting suatu benda untuk benda atau hal itu sendiri. Dalam majas ini terdapat dua macam; pertama pars pro toto : sebagian untuk keseluruh. Kedua totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian.
- citraan (gambaran-gambaran angan)
dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulakan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih)hidup gambaran dalam pikiran dan pengindraan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan atau pikiran, disamping alat kepuitisan yang lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan atau imagery. Coombes menyebutkan bahwa imaji dalam penyair yang baik akan hidup dengan segar.
Jenis-jenis imagi
Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indra penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan.
Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citra penglihatan (visual imagery), yang ditimbulkan oleh pendengaran disebut (auditory imagery) dan sebagainya.
- gaya bahasa dan sarana retorika
gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca, begitu kata Slametmuljana. Tiap pengarang itu mempunyai gaya bahasa sendiri. Hal ini sesuai dengan sifat dan kegemaran masing-masing pengarang. Gaya itu merupakan idiosyncracy atau keistimewaan kekhususan seorang penulis, menurut Milddleton Mury, begitu juga kata Buffon gaya itu adalah orangnya sendiri.
Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
Pleonasme atau keteranagn berulang adalah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautology, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata pertama.
Enumerasi adalah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar.
Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan.
Kiasmus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya. Misal diri mengeras dalam kehidupan, kehidupan mengeras dalam diri.
Demikianlah Artikel pengkajian puisi 2
the life of the muslim world pengkajian puisi 2, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan the life of the muslim world kali ini.
0 Response to "pengkajian puisi 2"
Post a Comment