Penulis : SUMUR BOR
judul artikel : SUMUR BOR
SUMUR BOR
SUMUR BOR
Pada waktu sore hari Ramlan dan adik-adiknya cuci mata di pinggir jalan, depan rumah pamannya, mereka senang melihat yang berlalu lalang , kahar, kereta, gerobag dan kereta mesin yang kesana kemari.
Setelah menjelang malam, anak-anak pergi mandi ke sumur bor, dekat alun-alun. Setelah sampai di pemandian, kemudian Ramlan berhenti.
“Nah Di sini kita mandi, Di”, kata Ramlan. Roesdi lama sekali melihat ke dalam sumur bor, sesudah itu lalu melihat kesana kemari.
“Melihat apa, Di?” kakaknya berkata.
“Air ini dari mana datangnya, Ka?” Roesdi berkata. “Padahal di sekitar sini tidak ada kolam, kenapa juga sumber airnya berdiri ini. Jika di kampung saya sumber air itu terlentang, dan sumber airnya jelas tempatnya, dari kolam. Kenap sumber air di sini tidak ada kolamnya?
“Ini bukan air kolam, Di”, sergah Ramlan. “Iya nanti oleh kaka diceritakan. Dipercepat ya mandinya, nanti takut kemalaman.
Anak-anak bertiga sudak membuka pakaian, terus mereka mandi. Setelah mandi kemudian berdandan, lalu pulang.
“Dari mana anaka-anak?” Bapanya berkata.
“Dari air, Pa,” kata Ramlan, “sudah mandi di sumur bor.”
“Nah sekarang ceritakan dongeng sumur bor yang tadi, “ kata Roesdi.
“Ya sudah, dengarkan ya,” kata kakaknya.
Duduk ketiga adiknya di bawah lapu gantung, tengah rumah, orang tuanya mendengarkan tidak jauh dari situ.
“Begini cerita dongeng sumur bor. Di dalam tanah banyak air yang sudah menggenang beratus-ratus taun, yaitu air dari gunung-gunung dan air hujan yang menyerap. Jika air itu menemukan jalan, yaitu lubang, pasti airny langsung memenyembur keluar. Airnya sudah pasti bersih daripada air sungai, tentu saja karena penyaringnya tanah yang begitu tebal.
Dahulu, saat pertama membuat sumur bot, kaka melihat sendiri bagaimana cara kerjanya. Yang menjadi sebab dinamakan sumur bor, karena membuatnya dibor seperti mengebor kayu, hanya bedanya bor ini bukan bor pendek, malah panjang sekali, sampai ada yang ratusan meter. Karena begitu panjangnya dan besar itu bor bukan oleh tangan diputarkannya tapi dengan mesin. Kira-kira mata bornya sudah masuk tiga atau empat meter ke dalam tanah, air menyembur keluar, lebih dalam tanahnya di bor, semburan airnya pun lebih besar, tapi di daerah yang tanahnya tak ada air, sampaisedalam apapun takan ada air. Kalau sumur bor yang tadi dipakai mandi, sewaktu dibor langsung airnya keluar.
“Harus seberapa dalam mengebornya, ka?” kata Roesdi.
“Ah, tidak ditentukan dalamnya, tapi kata orang, kalau di dalam tanah banyak pasirdan serpihan batu padat yang terbawa air, mengebor lalu dihentikan, itu tandanya sudah sampai pada dasar air. Kalau yang terbawa oleh air hanya serpihan pasir padat, apalagi hanya tanah , teruskan saja dibornya.
“Oh, pantas saja airnya begitu jernih, kalau airnya dari dasar tanah,” kata Rusdi. “Besok pagi kita mandi lagi di sana, ya ka? Sekarang kita tidur, sudah ngantuk.” Masuk anak-anak ke kamar masing-masing, lalu tidur.
NU NGABAGIKEUN RANGKET
Sore sekali Ramlan, Roesdi, dan Misnem duduk di teras rumah sambil mendengarkan cerita pamannya. Begini ceritanya: “dahulu ada raden besar mengembara di hutan ketika sudah kembali melihat petani sedang panen jeruk bali. Raden mendekati petani sambil memetik buah. Petani dengan cepatnya memilih jeruk yang matang lalu diberikan.
“Terima kasih paman! Kata Raden. “Saya baru sekali seumur hidup mencicipi jeruk yang begitu manis, hanya sayangnya sekarang saya tidak dapat membalas kebaikan paman. Jika paman ada waktu, jangan lupa saya dikirim jeruk yang matang dan besar, barang kali aku nanti bisa membalas apa-apa yang saya terima kepada kamu, tanyakan saja rumah saya di kota, semua orang juga tau.”
“Baiklah, raden,” jawab petani.
Raden pamit kepada pa tani lalu pulang.
Waktu itu juga petani memilih jeruk yang matang dan juga besar kemudian dimasukkan ke dalam cerangka. Keesokan harinya pa tani pergi ke kota bermaksud mengantarkan jeruk kepada raden.
Tidak seberapa lama di kota rumahnya raden telah ditemukan serta kebertulan di depan rumahnya ada penjaga sedang berdiri.
“Permisi tuan!” kata petani, “juragan raden ada ?”.
“Ada apa ?” jawab penjaga. “Ada keperluan apa ?”
Petani menceritakan maksudnya.
“Wah! Tidak boleh terburu-buru, jika ingin bertemu dengan juragan raden, dua atau tiga hari sebelumnya sudah harus ada janji dulu, sini jeruknya biar saya yang memberikan.”
“Wah, tidak bisa tuan,” jawab petani, “sebab tuan raden sendiri yang memerintahkan saya untuk memberikannya sediri.”
“Bagus kalau begitu!” jawab penjaga. “Tapi kalau nanti diberi sesuatu oleh raden harus dibagi dua dengan aku.”
“Bagus!” jawab petani. Terus berjalan berjalan ke samping rumah. Di sana ia bertemu lagi dengan penjaga yang sedang menyapu. Petani bertanya kembali seperti ke penjaga yang di luar.
Jawaban tukang sapu sama dengan penjaga yang di luar. Ketika sedang berbicara dengan yukang sapu, Raden mendengar lalu pa Tani di silahkan masuk jerik kemudian diberikan dan langsung dimakan oleh tuan istri.
Sesudah petani agak lama bertamu kemudian ia pamit untuk pulang oleh raden diberi izin dan diberi uang tapi oleh petani tidak diterima tapi malah mengucapkan terima kasih.
“Mengapa tidak menerima paman?” kata Raden. “Apa terlalu sedikit?”.
“Bukan begitu tuan, jika ini saya terima saya tentu tidak kebagian sebab tadi sudah dijanjikan kepada para penjaga tuan, dimana saya menerima apa-apa dari tuan maka akan dibagi dua dengan mereka.”
“Wah, wah, wah, jadi itu sebabnya, kalau begitu bawa ini tongkat dan beri tahu pada para penjaga paman tidak diberi apa-apa cuman dipukul lima puluh kali oleh paman itu penjaga harus dipukul dua ppuluh kali masing-masing.”
“Hai penjaga kamu kesini!” kata raden “Silakan kalian minta bagian kepada petani.”
“Nah ini bagian untuk kalian dua npuluh lima bagian sebab saya sudah diberi lima puluh pleh Raden.”
Para penjaga tidak boleh tidak mau sebab dilihat oleh raden, ditambah lagi tadi sudah janji dibagi setengah.
Ketika sudah memukul petani dipanggil oleh Raden. ”Paman, ini baju dan uang yang tadi, ini bukan pengganti jeruk tapi upah memukul para penjaga.”
Pemberian Raden diterima oleh peytani lalu dibawa ke kampung.
TJIKUDAPATEUH
Di suatu malam Moerdijam berunding dengan orang tua Roesdi, akan melancong ke Cikudapateuh, tempat serdadu-serdadu. Besoknya pukul enam, semuanya sudah berangkat ingin melihat serdadu berbaris. Jalan yang dilalui dari Banceuy ke Utara, berbelok ke Timur sedikit lalu keluar di jalan kereta api melewat yang ke arah Barat.
“ini kereta yang kita naiki dahulu,” kata Rusdi pada kakaknya, “sebab di depannya ada lubang asapnya.”
“tentu semua kereta juga ada luabng asapnya” Jawab Ramlan. “kan itu tempat perapiannya, yang mendereknya. Jika kereta tidak ada itu maka tidak dapat jalan.”
Dari jalan, kereta agak belok ke timur, melewati sungai Tjikapundung.
“wah, mengapa banyak sekali mesjid di sini?,” sambil menunjuk gedung yang menggunakan menara.
“tentu saja itu mesjid” jawab Ramlan,”hanya saja bukan mesjid bangsa kita, itu mesjid bangsa Bekanda.”
Dari depan gereja dijalan berjalan ke timur sampai ke jalan pertigaan depan gedung yang besar dan bagus.
“rumah siapa itu, kak, yang ada tulisan Kwe-ek-se-ho-ol, sungguh sangat besar?” tanya Rusdi sambil menunjuk.
“kan ini yang disebut dengan sekolah raja itu. Itu murid-muridnya, sangat ribut. Malah tahun depan kakak akan ikut perpisahan di sini.
“Pa Rusdi dan adiknya, ema Rusdi dan istrinya Murdiam, ngobrol sepanjang jalan, seperti Ramlan dan adik-adiknya.
Kira-kira pukul tujuh, semua sudah sampai di Tjikudapateuh.
Ketika sedang berdiri di jalan, terdengar bunyi terompet ditabuh, tambur di pukul.
“nah itu, kang tambur sudah di tabuh” kata Murdiam pada Pa Rusdi, “ tak lama lagi akan keluar.”
Tak lama seperempat jam, maka banyak serdadu yang keluar, awalnya musik, diiringi serdadu seratus. Rusdi adn Misnem tercengang. Melihat serdadu yang begitu banyak.
Pertama Rusdi menghitung satu persatu, ingin tahu berapa jumlahnya, tapi ketika sudah puluhan, jadi kacau menghitungnya, datang lagi datang lagi.
“wah bukan hitungan Di” kata Ramlan
“Bapa,” kata Misnem, “ itu serdadu yang datang ke kita dulu mungkin, sebab sama persis. Yang melewati rumah kita dulu juga bajunya hitam, memikul senapan dan golok, dan menggunakan dor-doran, kayaknya sekarang akan datang lagi ke desa kita seperti dulu.”
“kalau baju serdadu dari dulu juga begitu,” jawab bapaknya.
Barisan serdadu sudah melintas di depan Rusdi.
“oh” kata Misnem, “ ternyata disini tempatnya serdadu-serdau yang suka ke kita itu ya pa?”
sesudah habis tontonan, pak Rusdi dan teman-temannya kemudian berkeliling, melihat yang aneh, yang ada di Tjikudapateuh.
“Coba lihat kak Ramlan” kata Rusdi “serdadu yang bediri di pintu, goloknya dicabu, menghadang kita kayaknya, supaya tidak ke sana.”
“Wah itu sih biasa, Di” jawab Ramlan. “ itu serdadu yang menjaga gerbag, bukan yang menghadang orang.”
Sesudah gedung-gedung di Tjikudapateuh di tonton semua, kemudian pa Rusdi dan temannya menelusuri jalan yang ramai, melihat yang aneh sambil kembali ke penginapan.
Kira-kira jam sebelas, sudah sampai di Banjey, kaemudian istirahat.
Demikianlah Artikel SUMUR BOR
the life of the muslim world SUMUR BOR, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan the life of the muslim world kali ini.
0 Response to "SUMUR BOR"
Post a Comment