Penulis : CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR Pahlawan Dayak yang tersisih
judul artikel : CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR Pahlawan Dayak yang tersisih
CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR Pahlawan Dayak yang tersisih
CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR Pahlawan Dayak yang tersisihDitulis oleh Hadi Saputra Miter
publish
Kalimantan Tengah lahir dari pergulatan politik dan senjata
Pembentukan provinsi Dayak (Kalimantan Tengah) sebagian besar dilakukan melalui negosiasi dilakukan secara umum yang dilakukan oleh para intelektual namun juga menggunakan tekhnik bersenjata sebagai pentuk penekanan.
Teknik-teknik negosiasi terpenting yang termasuk lobi langsung upaya yang ditujukan untuk Jakarta, yang didukung oleh kekuatan tersembunyi di hutan Kalimantan. Milisi Dayak dimaksudkan untuk menekan pihak Jakarta ke dalam permintaan untuk sebuah provinsi Dayak dan juga untuk menunjukkan loyalitas ke Jakarta dengan membantu melawan melawan pemberontak Muslim (misalkan pemberontak Ibnu Hajar dengan Darul islamnya) gerakan ini digambarkan sebagai milisi untuk politisi di Jakarta sebagai sebuah ekspresi budaya Dayak yang unik, liar tapi setia.
Penggunaan istilah tentara lawung nampaknya juga bias dikatakan sungguh kreatif karena merujuk dalam sejarah masyarakat Ma’anyan, dimana Tentara Lawung adalah suatu Dutchsponsored (pendukung tentara belanda) "Kristen-Dayak" kelompok pada awalnya dibentuk untuk melawan penetrasi gerilyawan Sultan Banjar ke tanah Dusun dan Hulu Sungei (merujuk pada pasukan Suta Ono). Namun kelompok ini bertransisi menuju sebuah cita-cita kemerdekaan yang otonom bagi masyarakat Dayak kelompok ini muncul aktif di Tamiang Layang dan sekitarnya pada tahun 1953.
Cristian Simbar tokoh GMTPS
Munculnya Cristian Simbar aka Mandolin
Cristian Simbar pria kelahiran desa Madara ini adalah pemimpin yang paling menonjol dari Tentara Lawung. Dia mantan sekretaris kepala distrik (wedana atau camat) di Buntok. Kota kecil di tepi sungai Dayak tanah Dusun terletak sekitar lima puluh kilometer barat laut Tamiang Layang.
Dukungan antusias dari penduduk setempat kepada Tentara Lawung lebih disebabkan kepada prakteknya bukan gagasan atau idiologi gerakan tersebut, dimana dalam prakteknya yang bergaya seperti Robin Hood. Mereka merampok kapal dagang yang lewat dan membagikan hasilnya kepada masyarakat yang membutuhkan, dan juga untuk mereka. Tentara Lawong merampok kapal dagang di Karau, Negara, dan terakhir di Kalahien, dekat Buntok
Mereka bertindak dengan menyamar seperti otoritas berwajib, mengenakan seragam pemerintah mereka selama selama penggerebekan yang diikuti pembagian harta rampasan.
Tapi kejadian di Kalahien pada akhir tahun 1953 naas bagi mereka terlalu banyak polisi mengepung mereka, yang kemudian ditangkapnya sejumlah anak buah Simbar saat merampok Kapal Cina, Gin Wan II. Empat orang yang ditangkap dan ditahan adalah kerabat simbar, dan dia memutuskan untuk menyerang kembali. Awal pagi Minggu, 22, November 1953, Simbar dan ratusan pengikut Dayaknya menyerbu kota Buntok. Mereka membebaskan rekan mereka yang dipenjara, tapi dalam proses pembebasan itu mereka membunuh enam polisi, serta enam anggota keluarga polisi tersebut, termasuk tiga anak kemudian melarikan diri dengan senjata yang di ambil dari gudang senjata polisi.
Munculnya kekuatan bersenjata serta memonopoli kekerasan dan yang memiliki kepentingan politik di daerah. Daripada menjadi penjahat, simbar dan kelompoknya semula yang terkooptasi berubah menjadi komoditas politik yang bermanfaat. Pada awalnya, milisi menarik perhatian kelompok-kelompok lokal yang dianggap mereka sebagai agama bukan sebagai kekuatan etnis.
Dayak Kristen di Banjarmasin, tidak anti Indonesia, mereka melihat tentara lawung sebagai sekutu potensial untuk melawan Darul Islam, yang menimbulkan ancaman bagi agama mereka. Laporan serangan oleh Kahar Muzakkar itu gerakan Darul Islam terhadap umat Kristen Toraja di Sulawesi Selatan telah menyebarkan ketakutan di seluruh jemaat gereja di seluruh Indonesia. Di Banjarmasin, pada bulan November 1953, Christoffel Mihing, Dayak pegawai sipil di Banjarmasin dan seorang Kristen, mengumumkan bahwa ia dan jemaatnya siap mengangkat senjata untuk mendukung pemerintah Indonesia dan untuk melindungi diri terhadap konversi paksa ke Islam.
Mereka ingin menghubungi Tentara Lawong untuk merancang sebuah "program perjuangan" bersama.
Namun milisi Dayak akhirnya tarik diri ke dalam perjuangan politik tanpa mengikut sertakan masalah agama, tapi dalam politik etnis mendukung terciptanya sebuah provinsi keempat dimana Dayak memimpin secara otonom di Kalimantan, sebuah isu yang mampu mereka mengeksploitasi karena itu masalah pembangunan negara Jakarta pada saat itu. Segera setelah serangan Buntok, pemimpin Dayak Kristen di Banjarmasin mendekati Gubernur Murdjani.
Para penyerang Buntok ini telah meluncurkan nama gerakan mereka terungkap dalam surat, dengan sebuah gerakan yang disebut Telabang Pancasila Sektor Dajak. Telabang (atau telawang) adalah perisai; Pancasila adalah ideologi nasional Indonesia, sebuah istilah yang jelas disampaikan sebagai bentuk loyalitas ke Jakarta. Para penyerang menjelaskan bahwa mereka telah termotivasi oleh keluhan masyarakat dayak, seperti ketidakpuasan mereka dengan korupsi pemerintah dan pembatalan skema saluran rawa.
Dari Tentara lawung menjadi Gerakan Mandau Telawang Pancasila
Kelompok ini ditambahkan (tidak diragukan lagi untuk menarik mata sponsor yang potensial di Jakarta) bahwa pihaknya siap "mati untuk" Pancasila. Hari berikutnya, kelompok ini dibaptis ulang dirinya terang-terangan Dayak, dengan nama Gerekan Mandau Telabang Pantjasila (mandau mengacu pada pedang pendek Dayak).
Ini mengumumkan bahwa pemimpinnya adalah Ch. Simbar, alias Mandolin, seorang anggota suku Dayak Ma'anyan. Yang paling penting, itu menyatakan oposisinya terhadap kelompok anti-Jakarta dan bukan sekutu pemberontak, seperti KRJT(Kelompok Rakjat Jang Tertindas), Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia pimpinan Ibnu Hadjar.
Simbar menyatakan kelompok ini, bukan sampah masyarakat.
Dia mantan seorang pejabat pemerintah lokal sekarang berbicara mewakili daerah Dayak Pada pertemuan panjang dan simpatik pada Desember 1953 dengan sebuah delegasi berkekuatan tinggi dari tokoh-tokoh Dayak yang dipimpin oleh Bupati Barito, G. Obus, Simbar mengajukan pembelaan yang sangat ideologis dari tindakannya. Dia mengatakan dia didorong oleh rasa ketidakadilan yang diderita oleh orang Dayak, menentang korupsi dan pemberontak Islam, dan bahwa ia dan anak buahnya akan menyerahkan diri asalkan mereka direkrut menjadi polisi atau tentara Juga hadir pada pertemuan ini adalah C. Luran, ketua DPRD Barito (DPRDS, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara), dan juga Hausmann Baboe mantan eksekutif Pakat Dayak pada tahun 1939.
Sebuah kesepakatan harus telah dibuat untuk Simbar, hari berikutnya Simbar menyerah bersama dengan 129 pengikutnya. Semua dibawa ke Banjarmasin. Lain pertemuan tingkat tinggi diikuti ada antara pemimpin Dayak dan wakil gubernur, wakil kepolisian, dan kejaksaan (dimediasi oleh Bupati Barnstein Babu, keponakan dari Hausmann Baboe) Setelah itu, sebagian besar pria yang telah mengambil bagian dalam serangan Buntok dibebaskan dari berbagai tuduhan. Polisi segan untuk mengambil sikap dengan kelompok ini sama sekali, inilah yang membuat kelompok ini menjadi angkuh terhadap hukum namun Simbar tetap ditahan dengan tuduhan perampokan terhadap kapal Gin Wan II. Namun pada pertengahan April 1954, simbar melenggang keluar dari penahanan dan pulang kekampung halamannya
Koran “Indonesia Berdjuang” berkomentar mencium bau tikus, tapi berani tidak berani menyebutkan nama. Mereka meyakini Simbar tidak bisa melarikan diri dengan sendirinya dari berbagai kasus yang harusnya dapat menjerat nya dan kelompoknya, Para penulis mencurigai bahwa ini semua bagian dari taktik untuk melawan partai-partai Islam. Lepasnya Simbar dari berbagai tuntutan hukum itu nampaknya telah dilakukan oleh "elemen rahasia" di Banjarmasin, mereka mengklaim, dan unsur-unsur yang sama kini memberinya senjata yang mungkin dimanfaatkan dalam pemilu
Memang benar bahwa prospek pemilihan umum sudah menaikkan politik ketegangan di seluruh negeri pada tahun 1954, setahun sebelum mereka akhirnya diadakan. Namun gerakan simbar tidak ada kaitannya dengan politik pemilu. Simbar adalah pion dalam politik elit peduli dengan aturan desentralisasi. Pada saat ini, kabinet nasional sedang mempertimbangkan pembagian Kalimantan menjadi provinsi. Komite aksi Dayak yang bermunculan untuk berdebat untuk "keempat" provinsi meliputi Dayak Besar. Yang terbaik yang terhubung dari mereka adalah Komite untuk Saluran Aspirasi Rakyat untuk Kalimantan Tengah (Panitia Penjalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah), yang dipimpin oleh Oberlin Brahim dan M. Ismail. Saudara Oberlin itu, Timmerman, segera membentuk Partai Persatuan Daya, sedangkan Ismail adalah saudara dari pemimpin Parkindo dan hakim Banjarmasin, yaitu AD Ismail.
Pada bulan Juni 1954, Simbar sudah kembali menjadi berita utama lokal, sekali lagi dia diidentifikasi sebagai pemimpin organisasi bersenjata bernama Telawang, Mandau Dan Pancasila (juga kadang disebut sebagai "Mandau Telabang Kalimantan Dajak"). Dia berbasis di DAS Sungai Barito sekitar Buntok dan Muara Teweh. Dua bulan kemudian, ia dilaporkan telah berjalan 150 kilometer barat ke daerah DAS Sungai Kahayan, di mana ia memberikan "pengetahuan mistik" (ilmu) untuk Kaharingan dan Dayak Kristen dan mendesak mereka untuk bergabung dengan angkatan bersenjata.
Simbar mengatakan kepada pers bahwa pembentukan provinsi Kalimantan Tengah dengan cara "demokratis" adalah masalah mendesak, dan ia mengkritik upaya lemah yang telah dibuat untuk mendukung gerakan ini penyebabnya adalah anggota parlemen Dayak Halmoat Koenoem, di Jakarta (mantan Anggota Dewan yang juga orang Dayak).
Simbar gagal dalam pergulatan di pesta demokrasi
Kejeniusan Simbar terletak pada kemampuannya untuk bergerak maju mundur di akan antara kota dan hutan, ia memainkan peran sebagai calon pemimpin Dayak dalam pemilu, dari gerilya bersenjata. Pada bulan Mei 1955, muncul dari hutan, ia mengambil tempatnya sebagai salah satu dari tiga kandidat teratas untuk Partai Persatuan Daya. Orang Dayak di daerah pemilihan Kalimantan Selatan tidak bersatu di bawah spanduk etnis dalam pemilu 1955 .
kurangnya minat dalam politik regional atau pihak. Douglas Miles menggambarkan tingkat tinggi politisasi pedesaan bahkan di daerah hulu selama menjelang pemilu. Calon utama Partai Persatuan Daya itu adalah Timmerman Brahim, Perdinand Dahdan Leiden, dan orang Kristen tersebut Simbar, semua berbasis di Banjarmasin.
Hasil pemilihan untuk provinsi Kalimantan Selatan parlemen sementara (DPRD Peralihan), juga diadakan tahun itu, menegaskan betapa tidak efektif etnis Dayak dalam politik elektoral. Di Kalimantan Selatan secara keseluruhan, 82 persen suara pergi ke dua partai Islam, Nahdatul Ulama (NU, 49 persen) dan Masyumi (33 persen). PNI mengambil 6 persen suara. Tak satu pun dari telah menyatakan minat dalam penciptaan sebuah provinsi keempat. Dalam apa yang dianggap sebagai kabupaten yang didominasi Dayak Barito, Kapuas, dan Kotawaringin, partai-partai yang lebih kecil dibuat untuk mendukung provinsi Kalimantan Tengah, namun tapi tidak cukup untuk mematahkan dominasi NU, Masyumi dan PNI.
Partai-partai besar memenangkan total 70 persen, 52 persen, dan 60 persen di tiga kabupaten central, masing-masing. Pihak-pihak yang telah secara aktif mendukung pembentukan provinsi Kalimantan Tengah yaitu Partai Persatuan Daya (Partai Persatuan Dayak), PRN, dan Parkindo-masing-masing memenangkan porsi kecil suara. Meskipun Persatuan Daya, dari pihak simbar itu, tentu tidak buruk sebagai partai pendatang baru (simbar yang pihak menang, masing-masing, 3 persen, 14 persen, dan 3 persen dari total suara di masing-masing tiga kabupaten) . Namun hal ini tidak mampu membujuk simbar untuk tinggal dengan partai politik dan dia kembali taktik lamanya kemudian.
Kekecewaan Simbar sebagai patriot yang hanya menjadi anak bawang
Simbar hanya diberikan sedikit uang dan dia mencoba peruntungan lewat bisnis. Dengan memiliki sedikit bakat untuk bisnis, dia akhirnya harus menderita kebangkrutan. Pada tahun 1961, ia kembali ke hutan, masih membayangkan bahwa ia berhasil secara politik dengan pengalamannya berjuang ( sementara yang lain nyaman menikmati kontribusi Simbar yang tanpa lelah melobi Jakarta).
Dia telah melewati masa untuk bisa berharap menjadi gubernur setelah masa Tjilik Riwut itu berakhir, dan ini membuatnya marah. Mungkin dia tidak menyadari bahwa ia telah kehilangan pengaruh dan, untuk itu imunitas, atau kekebalan hukum. Simbar ditangkap dan ditahan dipenjara militer di Balikpapan, Kalimantan Timur.
pemerintah melupakan kohort (akar) mereka sendiri dimana pejuang tersebut telah menderita kematian di tangannya, dan banyak menduga ia mati dieksekusi. Namun semua kabar tersebut dimentahkan setelah ada kabar bahwa pria bernama Simbar yang sangat identik dengan ciri-cirinya dan dibenarkan oleh pihak keluarganya diketahui meninggal dunia terkena penyakit maag akut (dyspepsia) dan berada di Nusa Tenggara Timur. Dan sekarang dipulangkan ke kampung halamannya Madara. (Sumber: http://hadi-saputra-miter.blogspot.com)
Demikianlah Artikel CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR Pahlawan Dayak yang tersisih
the life of the muslim world CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR Pahlawan Dayak yang tersisih, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan the life of the muslim world kali ini.
0 Response to "CRISTIAN "MANDOLIN" SIMBAR Pahlawan Dayak yang tersisih"
Post a Comment